“Kesempurnaan sejati adalah ketika kau telah sampai pada satu titik kesimpulan, bahwa hidup ini adalah proses belajar”
(Dedy)
“ini tentang masa depanku, masa depanmu dan masa depan rakyat yang dimiskinkan”
(status facebook Alkhozi Syah)
Apa yang menarik dari dua kali pertemuan dalam rangka Pelatihan Sosial Intelektual Keupula yang diprakarsai oleh SEFA, KWI dan Personal Growth yang saya ikuti. Pertanyaan di atas jika ditanyakan pasca pertemuan pertama, jawaban yang muncul dibenak saya adalah sebuah jawaban tragis: tidak ada hal yang menarik dan baru bagi saya, ini sama saja dengan bacaan-bacaan yang sering saya dapatkan dari buku-buku training pengembangan diri pada umumnya. Yang dijual hanyalah mimpi-mimpi kosong bahwa kita bisa melewati dan mengatasi berbagai problem hidup kita, bahwa kita bisa mencapai cita-cita kita, yang dibutuhkan adalah kerja keras dan tetap focus pada apa yang kita impikan serta yakin pada diri sendiri kalau kita bisa. Sementara system ekonomi politik yang berada diluar kita tidak pernah mendukung kita untuk sukses dalam menggapai mimpi-mimpi tersebut. Ini adalah sebentuk hegemoni dan pengalihan tanggung jawab dari Negara kepada individu. Bahwa jika seseorang miskin itu bukanlah kesalahan Negara melainkan dosa dari individu terkait akibat kebodohan, kepongahan dan kemalasannya dalam mengejar kesuksesan. Padahal hajat hidup masyarakat sangat ditentukan oleh kebijakan politik yang dikeluarkan Negara. Saya curiga, ini adalah sebuah upaya menegasikan kontradiksi dari Negara ke masyarakat. Jawaban tersebut muncul bukan karena saya mengalami virus split personality. Jawaban tersebut muncul karena saya adalah orang yang percaya bahwa perubahan sekecil apapun yang terjadi pada individu sangat erat keterkaitannya dengan system ekonomi politik yang berlaku pada suatu Negara yang didiami oleh individu tersebut. Konflik politik Aceh selama puluhan tahun adalah contoh dimana kebijakan politik Negara menghambat perkembangan ekonomi, politik dan budaya masyarakat Aceh secara umum dan individu-individu rakyat Aceh khususnya. Contoh lainnya adalah kebijakan pemerintah memangkas berbagai subsidi public baik di sector pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Kebijakan ini berimplikasi terhadap semakin sengsaranya rakyat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Pertanyaannya kemudian, kenapa saya bisa sampai pada kesimpulan tersebut? Kita hidup di era demokrasi liberal kapitalistik, dimana prinsip persaingan bebas adalah sebuah keharusan. Untuk bertahan kita harus bersaing dan dalam persaingan mengharuskan ada yang kalah dan menang. Nah rumitnya lagi adalah, dunia ini tidak steril, polos dan adil, selalu saja ada yang kaya dan yang miskin, yang kuat dan yang lemah, kelas atas dan kelas bawah. Ketika yang miskin berada dalam langgam yang sama, dalam arena persaingan yang sama dengan yang kaya yang terjadi adalah pertarungan yang tidak seimbang. Inilah kekurangan demokrasi formal yang berlaku saat ini. Ada satu contoh menarik yang ingin saya paparkan disini, contoh ini saya ambil dari diskusi Dialog Keudee Kupi yang sering diselenggarakan oleh SEFA, pada satu kesempatan kebetulan pembicaranya adalah Fadjroel Rahman (Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan/ Pedoman). intinya dia mengatakan seperti ini, bahwa kekayaan yang berhasil diakumulasi oleh 20% orang terkaya di dunia seperti Bill Gates, George Soros dll yang semakin meningkat dari tahun ke tahun mempunyai korelasi yang erat dengan kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar penghuni bumi yang lain baik di Asia, Afrika dan di Negara-negara Amerika Latin. Semakin banyak akumulasi modal yang berhasil dilakukan maka semakin banyak kemiskinan yang terjadi. Maka untuk sukses, kita harus berjudi dan bertaruh (contoh Genzelle dan Lion di Afrika juga semakin mengukuhkan keyakinan saya, untuk bertahan hidup mengharuskan ada yang mati). Untuk sukses kita harus mengorbankan orang lain baik langsung maupun tidak langsung, ingat! no free lunch. Inilah NERAKA KAPITALISME!! Hukum rimba berlaku disini. Logika demikian mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa yang terutama mendesak untuk berubah (dirubah) bukan individu-individu melainkan Negara. Artinya Negara harus menyediakan basis yang jelas berupa system ekonomi politik yang adil dan menjamin semua orang untuk bisa mendapatkan akses pada kesejahteraan. Bahwa perubahan adalah kerja social. Bukan kerja individu atau perseorangan. Dan arah gerak dinamika sejarah bukan ditentukan oleh tokoh-tokoh melainkan ditentukan oleh kontradiksi social dan pertentangan kelas-kelas sosial pada setiap fase sejarah. Apa yang berubah setelah pertemuan ke-II? Setelah mengikuti pertemuan ke II, saya harus mengakui bahwa defenisi saya tentang apa itu sukses terlalu dangkal dan sempit. Pada pertemuan pertama saya harus akui bahwa naluri kekanak-kanakan saya begitu dominan dalam menyimpulkan sesuatu hal (reaksioner). Namun pada pertemuan kedua saya sudah mulai menangkap secara dewasa tentang apa itu sukses. Dan yang lebih penting, saya mulai mampu untuk melihat apa tujuan dari kegiatan tersebut. Ternyata Personal Growth tidak pernah berusaha “merebut” defenisi sukses saya dan menggantikannya dengan sebentuk kesuksesan yang lain menurut mereka. Personal Growth hanya berusaha untuk menjadi wadah bagi saya untuk lebih mengenali citra diri saya. Untuk lebih mengenali apa yang menjadi impian saya, cita-cita saya. Dan bahwa sukses adalah bagaimana sebisa mungkin berbuat, sebisa mungkin mengaktualisasikan diri, sebisa mungkin mengenali diri sendiri. Dan yang lebih penting sukses adalah sebuah proses. Capaian-capaian kecil yang kita dapatkan harus menjadi batu loncatan untuk capaian yang lebih besar. Sukses adalah dialektika hidup. Bahwa kita harus mempunyai tujuan hidup sehingga semuanya menjadi terarah dan sistematis. Jika impian hidup saya adalah bagaimana membuat dunia berubah menjadi lebih baik sehingga tercipta sebuah dunia dimana semua orang bisa cocok dan saling menghargai, maka saya harus berbuat. Jika tujuan hidup saya adalah bagaimana mengubah bangsa ini agar lebih adil dan makmur, maka saya harus tampil dan mempelopori perubahan walaupun pada akhirnya kerja-kerja perubahan adalah kerja bersama. Dan jika tujuan hidup saya… Ah sudahlah, intinya apapun tujuan hidupmu, berdamailah terlebih dahulu dengan dirimu sendiri. Kenali dirimu, kongkritkan cita-citamu Yakinkan bahwa kau bisa memberikan sesuatu pada negaramu, pada rakyat tempat kau hidup. Menangkan hatimu, selesaikan kontradiksimu dan selamat, kau berhasil mengubah wajah dunia. Oh iya, se-radikal apapun, se-gila apapun mimpimu itu bukanlah sebuah dosa asal ingat tiga dosa (hehe): 1. dosa pada diri sendiri 2. dosa pada orang lain 3. dan dosa pada alam. Terima kasih telah menjadi cermin, sehingga saya bisa melihat peluang apa, sumber daya apa, kelemahan apa dan impian apa yang melekat pada diri saya sehingga saya berkayakinan bahwa memang saya harus aktif bukannya passif. Bahwa saya harus “merebut” bukannya menunggu dan pasrah. Semoga Personal Growth bisa terus menjadi cermin untuk bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis identitas. Sehingga bangsa ini bisa menjadi lebih percaya diri dalam menghadapi tantangannya.