“Kesempurnaan sejati adalah ketika kau telah sampai pada satu titik kesimpulan, bahwa hidup ini adalah proses belajar”

(Dedy)

“ini tentang masa depanku, masa depanmu dan masa depan rakyat yang dimiskinkan”

(status facebook Alkhozi Syah)

 

Apa yang menarik dari dua kali pertemuan dalam rangka Pelatihan Sosial Intelektual Keupula yang diprakarsai oleh SEFA, KWI dan Personal Growth yang saya ikuti. Pertanyaan di atas jika ditanyakan pasca pertemuan pertama, jawaban yang muncul dibenak saya adalah sebuah jawaban tragis: tidak ada hal yang menarik dan baru bagi saya, ini sama saja dengan bacaan-bacaan yang sering saya dapatkan dari buku-buku training pengembangan diri pada umumnya. Yang dijual hanyalah mimpi-mimpi kosong bahwa kita bisa melewati dan mengatasi berbagai problem hidup kita, bahwa kita bisa mencapai cita-cita kita, yang dibutuhkan adalah kerja keras dan tetap focus pada apa yang kita impikan serta yakin pada diri sendiri kalau kita bisa. Sementara system ekonomi politik yang berada diluar kita tidak pernah mendukung kita untuk sukses dalam menggapai mimpi-mimpi tersebut. Ini adalah sebentuk hegemoni dan pengalihan tanggung jawab dari Negara kepada individu. Bahwa jika seseorang miskin itu bukanlah kesalahan Negara melainkan dosa dari individu terkait akibat kebodohan, kepongahan dan kemalasannya dalam mengejar kesuksesan. Padahal hajat hidup masyarakat sangat ditentukan oleh kebijakan politik yang dikeluarkan Negara. Saya curiga, ini adalah sebuah upaya menegasikan kontradiksi dari Negara ke masyarakat. Jawaban tersebut muncul bukan karena saya mengalami virus split personality. Jawaban tersebut muncul karena saya adalah orang yang percaya bahwa perubahan sekecil apapun yang terjadi pada individu sangat erat keterkaitannya dengan system ekonomi politik yang berlaku pada suatu Negara yang didiami oleh individu tersebut. Konflik politik Aceh selama puluhan tahun adalah contoh dimana kebijakan politik Negara menghambat perkembangan ekonomi, politik dan budaya masyarakat Aceh secara umum dan individu-individu rakyat Aceh khususnya. Contoh lainnya adalah kebijakan pemerintah memangkas berbagai subsidi public baik di sector pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Kebijakan ini berimplikasi terhadap semakin sengsaranya rakyat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Pertanyaannya kemudian, kenapa saya bisa sampai pada kesimpulan tersebut? Kita hidup di era demokrasi liberal kapitalistik, dimana prinsip persaingan bebas adalah sebuah keharusan. Untuk bertahan kita harus bersaing dan dalam persaingan mengharuskan ada yang kalah dan menang. Nah rumitnya lagi adalah, dunia ini tidak steril, polos dan adil, selalu saja ada yang kaya dan yang miskin, yang kuat dan yang lemah, kelas atas dan kelas bawah. Ketika yang miskin berada dalam langgam yang sama, dalam arena persaingan yang sama dengan yang kaya yang terjadi adalah pertarungan yang tidak seimbang. Inilah kekurangan demokrasi formal yang berlaku saat ini. Ada satu contoh menarik yang ingin saya paparkan disini, contoh ini saya ambil dari diskusi Dialog Keudee Kupi yang sering diselenggarakan oleh SEFA, pada satu kesempatan kebetulan pembicaranya adalah Fadjroel Rahman (Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan/ Pedoman). intinya dia mengatakan seperti ini, bahwa kekayaan yang berhasil diakumulasi oleh 20% orang terkaya di dunia seperti Bill Gates, George Soros dll yang semakin meningkat dari tahun ke tahun mempunyai korelasi yang erat dengan kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar penghuni bumi yang lain baik di Asia, Afrika dan di Negara-negara Amerika Latin. Semakin banyak akumulasi modal yang berhasil dilakukan maka semakin banyak kemiskinan yang terjadi. Maka untuk sukses, kita harus berjudi dan bertaruh (contoh Genzelle dan Lion di Afrika juga semakin mengukuhkan keyakinan saya, untuk bertahan hidup mengharuskan ada yang mati). Untuk sukses kita harus mengorbankan orang lain baik langsung maupun tidak langsung, ingat! no free lunch. Inilah NERAKA KAPITALISME!! Hukum rimba berlaku disini. Logika demikian mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa yang terutama mendesak untuk berubah (dirubah) bukan individu-individu melainkan Negara. Artinya Negara harus menyediakan basis yang jelas berupa system ekonomi politik yang adil dan menjamin semua orang untuk bisa mendapatkan akses pada kesejahteraan. Bahwa perubahan adalah kerja social. Bukan kerja individu atau perseorangan. Dan arah gerak dinamika sejarah bukan ditentukan oleh tokoh-tokoh melainkan ditentukan oleh kontradiksi social dan pertentangan kelas-kelas sosial pada setiap fase sejarah. Apa yang berubah setelah pertemuan ke-II? Setelah mengikuti pertemuan ke II, saya harus mengakui bahwa defenisi saya tentang apa itu sukses terlalu dangkal dan sempit. Pada pertemuan pertama saya harus akui bahwa naluri kekanak-kanakan saya begitu dominan dalam menyimpulkan sesuatu hal (reaksioner). Namun pada pertemuan kedua saya sudah mulai menangkap secara dewasa tentang apa itu sukses. Dan yang lebih penting, saya mulai mampu untuk melihat apa tujuan dari kegiatan tersebut. Ternyata Personal Growth tidak pernah berusaha “merebut” defenisi sukses saya dan menggantikannya dengan sebentuk kesuksesan yang lain menurut mereka. Personal Growth hanya berusaha untuk menjadi wadah bagi saya untuk lebih mengenali citra diri saya. Untuk lebih mengenali apa yang menjadi impian saya, cita-cita saya. Dan bahwa sukses adalah bagaimana sebisa mungkin berbuat, sebisa mungkin mengaktualisasikan diri, sebisa mungkin mengenali diri sendiri. Dan yang lebih penting sukses adalah sebuah proses. Capaian-capaian kecil yang kita dapatkan harus menjadi batu loncatan untuk capaian yang lebih besar. Sukses adalah dialektika hidup. Bahwa kita harus mempunyai tujuan hidup sehingga semuanya menjadi terarah dan sistematis. Jika impian hidup saya adalah bagaimana membuat dunia berubah menjadi lebih baik sehingga tercipta sebuah dunia dimana semua orang bisa cocok dan saling menghargai, maka saya harus berbuat. Jika tujuan hidup saya adalah bagaimana mengubah bangsa ini agar lebih adil dan makmur, maka saya harus tampil dan mempelopori perubahan walaupun pada akhirnya kerja-kerja perubahan adalah kerja bersama. Dan jika tujuan hidup saya… Ah sudahlah, intinya apapun tujuan hidupmu, berdamailah terlebih dahulu dengan dirimu sendiri. Kenali dirimu, kongkritkan cita-citamu Yakinkan bahwa kau bisa memberikan sesuatu pada negaramu, pada rakyat tempat kau hidup. Menangkan hatimu, selesaikan kontradiksimu dan selamat, kau berhasil mengubah wajah dunia. Oh iya, se-radikal apapun, se-gila apapun mimpimu itu bukanlah sebuah dosa asal ingat tiga dosa (hehe): 1. dosa pada diri sendiri 2. dosa pada orang lain 3. dan dosa pada alam. Terima kasih telah menjadi cermin, sehingga saya bisa melihat peluang apa, sumber daya apa, kelemahan apa dan impian apa yang melekat pada diri saya sehingga saya berkayakinan bahwa memang saya harus aktif bukannya passif. Bahwa saya harus “merebut” bukannya menunggu dan pasrah. Semoga Personal Growth bisa terus menjadi cermin untuk bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis identitas. Sehingga bangsa ini bisa menjadi lebih percaya diri dalam menghadapi tantangannya.

(Sebuah Tulisan Yang Ketinggalan Isu)

Oleh: Dedy

Kebijakan pihak rectorat Universitas Muhammadyah Aceh untuk menyerahkan keamanan kampus kepada aparat kepolisian harus dilihat sebagai sebuah bentuk pembungkaman terhadap demokratisasi kampus. Idealnya, kampus adalah arena pergulatan ide atau wacana, harus steril dari segala bentuk intervensi unsur-unsur militer, agar dunia kampus benar-benar bisa menjadi lingkungan ilmiah yang bebas dari segala kepentingan. Oleh karena itu, tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal dan ketidak-konsistenan di kampus antara apa yang dikonstruksikan secara normative dengan praktek dilapangan. Namun ironisnya, kampus seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradoks. Di satu sisi, kampus dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang pada prakteknya justeru bertindak otoriter dan anti-demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subyek yang kritis, toleransi dan multi-kulturisme.
Sikap reaksioner pihak rektorat dengan mengundang aparat kepolisian ke dalam kampus sekali lagi menunjukkan sikap anti-demokrasi dan watak otoriternya pihak birokrasi kampus. Banyak kebijakan-kebijakan yang bersangkut-paut langsung dengan mahasiswa oleh pihak rektorat diambil secara sepihak tanpa mempertimbangkan untuk berkonsultasi dengan para mahasiswa, diantaranya adalah kebijakan menaikkan SPP baik untuk mahasiswa baru maupun mahasiswa lama. Kebijakan untuk menaikkan SPP ini sangat memukul perekonomian mahasiswa yang sebagian besar berasal dari kelas menengah ke bawah. Maka kita tidak bisa menyalahkan apabila muncul tudingan-tudingan sinis atas kebijakan ini: Kenaikan SPP ini sama saja dengan mengkomersilkan pendidikan.
Banyak kebijakan-kebijakan pihak rektorat yang tidak populis, bahkan sangat merugikan pihak mahasiswa, oleh karena itu kita pantas menduga bahwa melibatkan aparat kepolisian kedalam lingkungan kampus sebagai bentuk ketakutan pihak rector akan munculnya gerakan-gerakan protes oleh para mahasiswa. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk mengundang aparat kepolisian untuk memproteksi diri dari aksi protes mahasiswa.

Kampus punya slogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada prakteknya hanya untuk anak bangsa yang punya modal dan capital. Kampus punya visi untuk menjunjung tinggi persamaan derajat dan anti-diskriminasi, tapi pada praktekya tidak mengakomodasi kelompok minoritas. Utamanya kaum difabel. Kampus terlanjur dipersepsikan sebagai media belajar bagi semua, tapi dalam prakteknya hanya mengakomodasi anak yang pintar, pandai dan cerdas dan mengeksklusi mereka yang punya keterbatasan intelektual. Jika ada gerakan protes dari mahasiswa, maka aparat represif dilibatkan untuk membungkam gerakan protes tersebut dengan dalih menjaga stabilitas keamanan.

Jika dilihat dalam lingkup yang lebih luas, sebenarnya pola seperti ini bukanlah model baru dalam rangka mengontrol dan membatasi gerakan politik mahasiswa agar tidak berkembang. Pola seperti ini sudah pernah diterapkan pada masa rezim Orde Baru berkuasa. Orde Baru menggunakan unsur-unsur militer untuk mengintervensi kampus dengan dalih untuk stabilitas keamanan.
Penguasa mencoba untuk mengarahkan para mahasiswa menjadi “mahasiswa baik-baik”. Mahasiswa dikonstruksikan pola pikirnya melalui berbagai kebijakan kampus agar hanya memikirkan bagaimana menyelesaikan studynya saja, mahasiswa harus menjadi “anak imut” yang penurut dan patuh.
Keinginan penguasa untuk menciptakan mahasiswa-mahasiswa yang apolitis dan apatis dengan segala ketimpangan social ini, di sadari atau tidak sebenarnya adalah demi kepentingan ekonomi pasar. Pasar melalui kaki tangannya yaitu pemerintah, menghendaki terciptanya stabilitas politik agar proses akumulasi kapitalnya tetap berjalan aman. Walaupun proses akumulasi tersebut dengan cara menindas, tidak boleh ada yang protes. Intelektual-intelektual kampus yang sejatinya harus menjadi agen pendobrak (agen of change) bagi kakusutan dan ketimpangan realitas social, dengan memperjuangkan nasib rakyat, tapi di konstruksikan menjadi tenaga-tenaga kerja murah yang akan dilempar ke pasar tenaga kerja untuk kemudian bekerja (baca; membudak) demi proses akumulasi modal bagi bos-bos kapitalis. Proses pembelajaran pun ditekankan pada upaya untuk mengakumulasi dan memiliki ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk mengejar profit. Jadi tidak heran ketika banyak banyak mahasiswa-mahasiswa saat ini yang apatis terhadap kondisi rakyat. Dan kalaupun ada satu-dua yang peka, peduli dan kritis, mereka terancam di Drop Out karena tidak bisa cepat menyelesaikan study-nya alias sibuk berorganisasi. Kapitalisme dengan segala macam cara mencoba mendegradasikan fakultas kritis yang ada di setiap individu. Inilah apa yang disebut dengan hegemoni kapitalisme. Pasar mencoba menggantung mimpi-mimpi pada umat manusia agar bersikap individualis serta tidak peka social. Dan apabila hegemoni tidak mempan, maka mereka menggunakan aparat represif untuk menekan setiap gerakan protes.
Nah, keinginan pihak rector untuk mengundang aparat kepolisian ke dalam lingkungan kampus harus dicurigai sebagai bentuk usaha untuk membungkam sikap kritis mahasiswa.

Oleh karena itu kebijakan untuk melibatkan aparat kepolisian dengan dalih menjaga keamanan kampus harus dikritisi oleh para mahasiswa sebagai sebuah kemunduran. Jika tidak keterlibatkan militer/polisi dalam lingkungan kampus dengan dalih apapun, mau tidak mau akan mematikan pemikiran kritis mahasiswa. Kita tentunya tidak mau melihat budaya Orde Baru dipraktekkan di kampus kita. Dan pertanyaannya, apakah kita peduli dengan kondisi ini???

***
Oleh: Dedy

Apa yang menyebabkan kemiskinan? Apakah miskin dan kaya itu takdir? Apakah rakyat bisa keluar dari kemiskinan?
Banyak ahli dan pemikir sudah mencoba menjawab pertanyaan di atas, banyak teori yang lahir untuk mencari akar kemiskinan dan bagaimana jalan keluarnya. Namun seiring waktu, teori hanya berhenti pada tataran teoritis semata dan tidak pernah bisa menyentuh serta menjawab akar persoalan aktual kemiskinan secara praktis. Banyak juga teori yang tidak hanya lekang oleh teori baru tapi juga tenggelam oleh waktu.

Persoalan kemiskinan adalah persoalan struktural, analisa mengenai kemiskinan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari analisa terhadap sistem ekonomi politik di suatu negara. Secara umum, ada dua watak sistem ekonomi dalam suatu negara, yang pertama adalah sistem ekonomi pasar bebas (kapitalisme/neoliberalisme) yang agressif dan destruktif. Yang kedua adalah sistem ekonomi yang berorientasi kerakyatan (pemerataan). Di dalam sistem ekonomi yang pro pasar, hampir seluruh kebijakan politik selalu mengabdi kepada modal (kartel, trust, korporasi multi-nasional dan pemodal lokal), sementara sistem ekonomi kerakyatan setiap kebijakan politik selalu mengakomodir kepentingan rakyat. Pertanyaannya adalah model ekonomi seperti apa yang yang dewasa ini di anut oleh Indonesia. Hal ini akan terjawab ketika kita melihat kebijakan-kebijakan politik yang di keluarkan oleh pemerintahan kita. Kebijakan menaikkan harga BBM, yang menyebabkan hampir seluruh sendi perekomomian rakyat terimbas, seperti mahalnya harga kebutuhan pokok, kolapsnya industri-industri rakyat yang berskala kecil dan menengah akibat tidak mampu menanggung biaya produksi yang tinggi, sementara disisi lain, industri-industri besar yang mempunyai modal kuat yang didominasi oleh hampir 70% investor asing tidak mengalami dan merasakan dampak dari kenaikan harga BBM ini. Kemudian kebijakan untuk melakukan privatisasi (swastanisasi) BUMN. Kebijakan untuk menjual kepemilikan saham Badan Usaha Milik Negara kepada swasta bukan saja mengancam layanan publik yang berkualitas tetapi juga hilangnya kedaulatan ekonomi suatu negara. Ketika BUMN dimiliki oleh modal swasta, tentu saja orientasinya adalah laba yang besar dengan mengesampingkan hajat kebutuhan publik. Karena logika dari sistem ekonomi kapitalisme adalah ”dengan modal sekecil-kecilnya dan untung sebesar-besarnya”. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, seorang pemodal swasta tidak segan-segan memangkas biaya produksi melalui PHK massal, pemotongan gaji buruh, dll dengan dalih efisiesi perusahaan. Sementara laba yang di dapat dari BUMN sepenuhnya akan mengalir ke kantong-kantong pengusaha atau pemilik saham, dan negara hanya mendapat penghasilan hanya dari pajak semata. Kebijakan yang tidak memihak rakyat juga dapat dilihat dari kebijakan di sektor pendidikan. liberalisasi pendidikan melalui pemberlakuan UU-BHP adalah contohnya. Dengan di berlakukan UU-BHP, tanggung-jawab penyelenggaraan pendidikan bagi rakyat diserahkan sepenuhya kepada pihak swasta, pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap penyediaan infrastruktur saja. Padahal seperti kita tahu, bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat adalah sepenuhnya tanggung jawab negara. Negara harus menjamin seluruh rakyat untuk memperoleh haknya akan pendidikan. Swastanisasi sektor pendidikan ini tentu saja akan berdampak terhadap mahalnya biaya pendidikan, karena dengan diserahkan sektor pendidikan untuk dikelola oleh swasta maka orientasi pendidikan untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul akan digantikan dengan semangat untuk mendulang untung yang sebanyak-banyaknya.

Kemiskinan bukanlah takdir yang tidak bisa dirubah, kemiskinan adalah persoalan struktural yang notabene adalah akibat ulah manusia. Kemiskinan tidak bisa hanya dilihat dari faktor individual semata. Kemiskinan lebih sebagai dampak dari kebijakan negara yang yang tidak pernah memihak rakyat.
Dalam sejarah, perubahan masyarakat menuju kearah yang lebih baik seringkali diwarnai oleh sebuah revolusi sosial yang berdarah. Revolusi Perancis, Revolusi Oktober di Rusia, Revolusi Industri di Inggris, dan Revolusi Para Mullah di Iran adalah sebagian contohnya. Rakyat ketika sudah jenuh terhadap ketimpangan negara, mereka akan melawan dengan memberontak. Untuk konteks Indonesia, revolusi kemerdekaan Indonesia 1945 telah membuktikannya. Rakyat Indonesia memberontak terhadap pemerintahan yang berkuasa saat itu yaitu Belanda. Dan reformasi 1998 sekali lagi menunjukkan kesabaran rakyat telah mencapai titik jenuhnya. Rakyat dengan kekuatannya menjungkir-balikkan rejim yang tidak memihak pada rakyat. Di Aceh dan Papua, munculnya isu disintegrasi juga dilatar-belakangi oleh ketimpangan ekonomi antara pusat dan daerah.

Oleh karena itu aku berkesimpulan bahwa, akar segala persoalan kemiskinan tidak bisa dilihat dari hilir, artinya kita tidak bisa mengklaim kemiskinan sebagai sebuah takdir yang tidak bisa dirubah, dan kemiskinan juga tidak bisa dilihat sebagai sebuah kesalahan individual. Banyak kalangan yang menilai bahwa kemiskinan adalah faktor individual seperti malas, bodoh dan sebagainya. Padahal kalau kita kritisi budaya malas serta penyakit bodoh, dsb yang ada di tiap individu sebenarnya hanyalah faktor sekunder, sementara faktor primernya adalah dari tatanan sosial ekonomi dan politik yang timpang. Sehingga berdampak terhadap perilaku rakyat secara keseluruhan. Artinya, perilaku budaya hanyalah dampak turunan dari sistem ekonomi politik di suatu negara. Secara teoritis, “ekonomi adalah basis (infrasruktur) sementara budaya, adat istiadat, serta tingkah laku adalah suprastuktur”, dalam kata lain, ekonomi adalah basis yang mempengaruhi segala tingkah laku serta budaya di dalam suatu masyarakat.

Untuk menanggulangi kemiskinan dibutuhkan kemauan politik (political will) dari pemerintah, dibutuhkan sebuah pemerintahan yang berwatak kerakyatan yang mampu memproteksi rakyat dari kebuasan pasar sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis rakyat. Jika tidak, maka tunggulah kekuatan rakyat akan berbicara.

***

Oleh: Dedy*
Pasca perdamaian, UUPA diberlakukan di Aceh, konsekwensinya wewenang mengatur daerah termasuk wewenang dalam membangun pendidikan menjadi semakin besar. Kecuali itu, UUPA telah memberikan sumber dana bagi pendidikan Aceh menjadi lebih besar dari sebelumnya. Sehingga, ketika daerah lain belum mampu menganggarkan anggaran pendidikan 20 %, Aceh sudah lebih dahulu mengalokasikan dana pendidikan dalam jumlah yang cukup besar, yakni mencapai angka Rp 700 miliar. Pasca tsunami, anggaran pendidikan Aceh naik menjadi Rp 1.3 triliun. Tapi anehnya kualitas pendidikan kita tidak kunjung meningkat. Banyak kampus-kampus di Aceh minim kualitas.
Mungkin, “Ironis” adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi pendidikan kita hari ini. Dahulu kita bisa beralasan dunia pendidikan Aceh hancur akibat konflik politik, banyak sekolah dibakar oleh orang tidak dikenal, banyak guru yang diculik, Proses belajar mengajar yang terganggu akibat letusan senapan dan sebagainya. Sekarang situasi politik dan keamanan sudah mulai sedikit stabil, namun dunia pendidikan kita masih saja kacau. Padahal dana untuk sector pendidikan semakin meningkat sementara di sisi lain biaya kuliah atau sekolah semakin hari semakin tinggi. Seiring dengan meningginya jumlah anak putus sekolah dan siswa yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pasca damai, kenyataan pahit ini bukanlah hal aneh dalam dunia pendidikan kita. Ini adalah siklus berulang, hampir setiap tahun terjadi. Mulai dari minimnya prestasi, rendahnya kualitas dosen dan guru, biaya SPP yang naik setiap tahunnya, hingga kurang memadainya sarana pendidikan dalam menunjang proses belajar mengajar, dan bahkan hingga saat ini masih ada beberapa kampus dan sekolah di Aceh yang tidak memiliki ruang kelas layak pakai.
Pertanyaannya, kenapa kondisi ini bisa terjadi? Mungkin agak sulit untuk menjawabnya ditengah karut marut system pendidikan kita hari ini. Begitupun ada benang merah yang bisa ditarik, pengelolaan pendidikan di daerah ini mulai dari tingkat pengambil kebijakan hingga aparat birokrasi di lapangan selama ini tidak pernah dilakukan secara professional. Pendidikan di daerah ini ditangani oleh para birokrat pendidikan yang tidak layak. Penyebabnya, bisa jadi karena jabatan-jabatan di Dinas Pendidikan, sudah menjadi jabatan politis. Dan aparat birokrasi di lapangan bekerja dengan orientasi proyek tanpa memperhatikan kualitas dan mutu pendidikan. Ditambah lagi birokrasi pendidikan tidak seluruhnya dipegang oleh pemerintah, hal ini terbukti dengan adanya swasta pendidikan yang disebut yayasan. sistem yang dibuat oleh yayasan jika dihitung persentasenya adalah kurang lebih 75% demi mencari keuntungan, 10% untuk amal dan 15% pendidikan. Kapitalisme yang berkedok jasa pendidikan adalah penghancur masa depan bangsa. hal ini dapat dilihat dari pola sistem yang diterapkan seperti, biaya kuliah atau sekolah yang mahal, fasilitas yang dominan tidak memuaskan serta arogansi aparat birokrasinya ketika berhadapan dengan mahasiswa atau pelajar. Selain biaya SPP yang tinggi, masih banyak kutipan-kutipan liar oleh aparat birokrasi pendidikan baik di tingkatan kampus maupun sekolah ditengah usaha pemerintah mengkampanyekan pendidikan gratis (gratis?). Contoh actual dari bobroknya profesionalisme aparat birokrasi ini adalah kasus tidak teakreditasinya beberapa bidang study yang terjadi di kampus Universitas Jabal Ghafur (Unigha). Sebenarnya kasus ini bukan hanya terjadi di kampus Unigha saja melainkan hampir seluruh kampus swasta yang ada di Aceh mengalami hal yang sama. Unigha hanya salah satu kasus yang muncul ke permukaan. Oleh karena itu, jika berkaca dari kondisi ini kita pantas menduga kalau semangat pendidikan untuk mendidik telah digantikan dengan kepentingan untuk mendulang untung setinggi-tingginya tanpa mempertimbangkan kualitas. Padahal seharusnya, dunia pendidikan harus benar-benar bisa menjadi lingkungan ilmiah yang bebas dari segala kepentingan. Oleh karena itu, tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal dan ketidak-konsistenan di kampus antara apa yang dikonstruksikan secara normative dengan praktek dilapangan. Namun ironisnya, wajah dunia pendidikan kita seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradoks. Di satu sisi, semangat pendidikan dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang cerdas dan demokratis, namun terkadang pada prakteknya justru bertindak otoriter dan anti-demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subyek yang kritis, cerdas, toleransi dan multi-kulturisme. Contoh dalam hal ini adalah banyaknya kebijakan-kebijakan yang di ambil, baik di tingkatan kampus maupun sekolah-sekolah tidak pernah mempertimbangkan untuk berkoordinasi dan berkonsultasi dengan para mahasiswa/pelajar. Jika melakukan protes, para mahasiswa/pelajar diancam dengan berbagai kebijakan otoriter seperti ancaman di Drop Out (DO), pengurangan nilai mata kuliah/pelajaran dan tidak di naikkan kelas.
Jika hal seperti ini dibiarkan terus maka tidak mustahil kedepan di Aceh akan membludaknya angka pengangguran terbuka akibat dunia kerja tidak mau menerima lulusan yang berasal dari kampus-kampus yang tidak terakreditasi ini. Selain itu akan meningkatnya angka para lulusan SMA yang tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi akibat semakin mahal biaya pendidikan. Habeh lagee.
***

Dedy

Tahun 2009 segera berlalu, dan Tahun baru 2010 menjelang. Melihat realitas hari ini dari kacamata kita sebagai rakyat, tidak ada perubahan substantive yang dibuat oleh Pemerintahan Aceh- dalam hal ini Irwandi-Nazar, utamanya dalam menanggulangi kemiskinan dan pengangguran. Belum lagi jika kita berkaca dari mindset pemerintah sendiri dalam melakukan pembangunan melalui berbagai program monumentalnya seperti pembukaan Pelabuhan Bebas Sabang, proyek Reintegrasi, KPN (Kredit Peumakmu Nanggroe), Moratorium Logging, pemberantasan korupsi, mengundang investasi asing dan lain-lain. Semuanya bisa dikatakan gagal. Praktis tiga Tahun mereka berkuasa belum ada satupun dari program yang mereka canangkan bisa dilihat hasilnya. Pertanyaannya adalah, kenapa ini terjadi? Padahal seharusnya, semangat rakyat Aceh memilih pasangan Independent ini yakni sebagai antitesa dari pemerintahan sebelumnya yang gagal harus dijawab dengan keberhasilan dengan kebijakan-kebijakan yang langsung bisa dirasakan oleh rakyat Aceh. Rakyat Aceh sudah terlalu lama hidup melarat dengan berbagai kontradiksi yang puluhan tahun mendera. Mulai dari konflik politik yang menelan ribuan nyawa serta matinya perekonomian rakyat, kemudian diperparah lagi dengan bencana alam maha dahsyat; gempa dan Tsunami. Berpijak dari kondisi ini seharusnya pemerintahan baru yang langsung dipilih rakyat ini seharusnya mempunyai beban moral yang begitu besar sebagai pelecut untuk menjawab berbagai persoalan kerakyatan. Maka ironis ketika tahun-tahun yang lalu pemerintahan Aceh terpaksa mengembalikan dana milyaran Rupiah ke Pusat, untuk Tahun ini kemungkinan juga begitu. sementara hari ini kualitas pendidikan buruk, akses kesehatan yang tertutup bagi rakyat miskin, ribuan orang belum mempunyai rumah akibat bencana Tsunami (padahal bencana alam ini sudah berlalu lima tahun yang lalu), harga kebutuhan pokok yang kian hari kian meningkat, biaya pendidikan yang semakin mahal dan lain-lain. Padahal jika melihat syarat-syarat materil maupun subjektif yang dimiliki Aceh hari ini, tidak ada alasan yang bisa diterima akal sehat untuk membenarkan kegagalan ini. Dulu pemerintah yang berkuasa bisa berdalih bahwa pembangunan Aceh terhambat akibat konflik politik dan bencana Alam, tapi sekarang konflik telah berakhir. Dulu dana APBA selalu deficit tapi sekarang dana APBA begitu melimpah-ruah sebagai konsekwensi dari bagi hasil 70;30 antara Aceh dan Pusat. Belum lagi dana yang langsung disuntikkan dari pusat kepada Aceh. Dahulu yang duduk sebagai Gubernur Aceh adalah orang yang ditunjuk langsung oleh pusat yang bisa jadi mewakili kepentingan Jakarta tapi kini pemerintahan Aceh dipilih langsung oleh rakyat dan seharusnya ini menjadi suntikan moral untuk menjadi pemerintahan yang amanah untuk kepentingan rakyat. Namun nyatanya rakyat Aceh masih berkalang duka dan airmata menatap 2010 dan tiga tahun Pemerintahan IRNA. Ironis!

Dalam dua tahun kedepan kita akan melihat apakah ada itikad baik dari penguasa daerah ini untuk memperbaiki kinerjanya. Atau akan tetap menjadi pemerintahan yang gagah dalam retorika politik namun ompong dalam hal implementasi. Apalagi kursi-kursi di Parlemen Aceh (DPRA) hari ini mayoritas diisi oleh Partai Aceh yang notabene adalah partai yang menjadi background pemerintahan. Ini bisa menjadi resource yang besar yang dimiliki oleh pemerintahan Aceh untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Jika tidak sepertinya kita dengan terpaksa meminta Tgk. Agam dan Bang Nazar untuk menanggalkan kupyah meukutop-nya dihadapan rakyat.

***